“Lihat deh si Asih, jarang banget ya posting foto cowoknya di IG. Jangan-jangan udah putus!”
“Eh, kenapa ya si Asih males banget foto sama cowoknya, apa gara-gara jelek, ya?”
Puluhan komentar semacam itu mungkin saja terlontar dari para penggosip di luar sana, mengingat saya memang bukan tipe orang yang suka ngumbar wajah pasangan di medsos. Kalau ditanya alasannya apa, ya emang nggak mau pamer aja! Bukan berarti yang hobi posting foto pasangannya termasuk hamba yang riya’, tapi buat saya kayak wasting time aja gitu.
ADVERTISEMENTS
Hey, posting foto pasangan kan bukan bagian dari pembuktian cinta!
Pernah suatu waktu saat antre di KFC, saya sayup-sayup dengar obrolan dua cewek SMU yang lagi nunggu giliran bayar juga. Kira-kira, gini nih obrolannya:
Cewek A: “Scroll IG-nya Mila ini males deh, isinya selfie dia mulu! Kenapa ya dia nggak pernah posting foto cowoknya?”
Cewek B: “Ih, cowok Mila kan emang nggak suka di foto. Nggak tahu deh, mungkin karena dia item jadi takut dikatain bagai bumi dan langit sama Mila. Hahahahaha..”
Sekilas ya wajar aja. Tapi kalau kita telisik lebih jauh, nge-ghibahin orang dengan topik semacam itu sama saja menilai sesuatu yang nggak patut dinilai. Kayak kalau boleh bilang, “ya terserah gue dong mau posting foto cowok gue atau nggak!”.
ADVERTISEMENTS
Saya dan pasangan juga dari awal kenal memang bukan ‘banci kamera’, meski kadang-kadang ya kecolongan juga
“Ayo dong kalian berdua foto, buat kenang-kenangan ibu sama bapak pas udah ditinggal kerja lagi…”
Meski sudah setua ini, saya dan pasangan saya masih saja diperlakukan demikian oleh ibu atau ayah. Apalagi sekarang zamannya berkirim gambar lewat WhatsApp, ya makin jadi deh permintaan foto dari mereka. Eits, meski di hasil fotonya tampang kami berdua sukses terlihat kaku ya, layaknya beha baru.
Kami punya cara tersendiri untuk bermesraan tanpa haus pujian sana-sini. Eh, bukannya ngobrol berdua sembari menikmati segelas cokelat hangat keintimannya awet hingga nanti?
Kami memang bukan B.J Habibie dan Bu Ainun yang keromantisannya menusuk sampai tulang. Kami hanya pasangan suami-istri biasa, yang tiap bulan masih berdebat soal kenaikan harga gula dan juga rebutan jagain anak pas dia lagi rewel-rewelnya.
Meski gitu, kami sudah cukup bahagia. Cinta kami pun nggak harus ditunjukkan sedemikian rupa, diberi tanda “love” lalu dipuja-puja. Cukup cicak di dinding rumah dan tetangga usil saja yang tahu, betapa kami ini akan tetap saling mencintai hingga nanti jadi debu.