Semasa saya sekolah, saya terlalu garib dengan istilah bullying atau rundung. Tapi saya pernah merasakan bagaimana sakitnya menjadi bahan olok-olakan oleh segerombolan orang yang bertubuh besar daripada saya. Setelah beranjak dewasa, saya baru tahu, perilaku seperti itu disebut bullying. Hal yang seharusnya saya lawan dari awal.
Tapi yang menarik adalah ingatan saya tentang bagaimana saya melewati masa-masa sulit itu. Di alam bawah sadar saya, saya memilih untuk bisa selalu menghibur orang lain dan/atau tampil intimidatif dengan menjadi kekar—meski tetap bertubuh pendek.
ADVERTISEMENTS
Awalnya, nggak sedikit yang curhat pada saya soal masa lalunya yang kelam, bagaimana teman-teman sekolah merundungnya
Setelah sekian lama sama meninggalkan masa lalu, saya sejenak melupakan bagaimana rasanya menjadi korban bullying. Saya hanya melalui hari dengan selalu (mencoba) untuk lucu di hadapan khalayak.
Sampai pada akhirnya saya bergabung dengan skuat Hipwee, saya menjadi salah satu skuat yang kerap mendapat curhatan dari para pembaca Hipwee sekaligus teman-teman saya di media sosial, tentang apa pun, termasuk masa lalunya yang mengerikan; menjadi bulan-bulanan, menjadi objek olok-olokan, dan sebagainya.
Seperti biasa, sebisa mungkin saya menjadi pendengar yang baik. Toh, pada dasarnya, orang yang sedang dalam masalah hanya butuh didengarkan, kan? Tapi saya pun sesekali memberi masukan yang membangun. Saya tak ingin melihat orang lain—terlebih yang dekat dengan saya—menjadi jatuh dan tersiksa oleh masalahnya sendiri. Begitu pun dengan cara saya yang kerap membuat lelucon bagi siapa pun; setidaknya orang terhibur dengan kelakuan kocak sampah saya itu.
Berbagai cerita ini membuat saya kembali teringat masa lalu saya. Ya, ternyata saya juga pernah dirundung sedemikian rupa
Sekian banyak cerita yang datang, sejenak saya mengingat tentang masa lalu saya sendiri. Kenapa begitu banyak orang yang mengalami masalah serupa? Apakah saya pernah mengalaminya?
Kudian saya menyelam dalam pada kenangan-kenangan buruk saya. Saya mendapati diri saya yang kecil, berkacamata, menderita, dan menyedihkan. Ya, saya pun pernah menjadi korban bullying. Saya melihat diri saya hanya bisa haha-hihi dengan menahan perih dikata-katai karena fisik saya yang belum layak disebut siswa SMP pada masa itu.
Tapi saya mendapat perlakuan yang bagi saya tidak terlalu buruk. Saya hanya sering dikatai pendek hingga sering menjadi objek buat main kucing-kucingan (beberapa orang melempar-tangkap barang-barang saya dan saya berada di tengah-tengah mereka—berusaha untuk merebutnya).
Pada perlakuan terakhir itu, saya memutuskan untuk mengambil sebuah plafon di samping kelas saya yang tengah dibangun. Tanpa pikir panjang, saya langsung menghantamkan plafon tersebut ke kepala salah seorang yang membuat saya begitu jengkel. Padahal konon saya adalah orang yang jarang bisa meluapkan emosi—bahkan marah pun susah.
Sejak itulah saya tak pernah lagi merasa bisa diganggu oleh siapa pun, kecuali PR-PR dari guru yang seolah merundung saya juga.
Alhasil, ibu menyuruh saya untuk les renang. Tapi dua kali pertemuan, saya memutuskan untuk datang ke tempat Tante Mila~
Kejadian itu berlanjut hingga pemanggilan orang tua kami masing-masing, sebab setelah saya menghantamnya dengan plafon, kami terlibat adu pukul (dan cakar). Tapi setelahnya, kami memilih jalur damai.
Dari kasus ini, barangkali orang tua saya secara tidak langsung ingin membuat tubuh saya menjadi selayaknya teman-teman sekolah saya waktu SMA. Ya, saya disuruh les renang! Tujuan yang mulia ini saya turuti dengan mengingkuti les dua kali. Sayangnya, pada pertemuan ketiga, di tengah jalan saya memutuskan untuk mampir ke tempat Tante Mila. Di sana terpampang angkuh foto-foto mengerikan, dari Ade Rai, John Cena, hingga “The Rock”, serta berbagai alat olahraga yang karib bagi penonton Smack Down seperti saya ini.
Belum lagi instruktur wanita yang duduk manis di belakang meja kasir begitu atraktif dan ramah menyambut kedatangan saya. Maka dengan tanpa dalih mesum, saya sekonyong-konyong mengiyakan sebuah program yang ditawarkan Tante Mila. Tanpa pikir panjang!
Berkat Tante Mila, dunia saya mulai berubah menjadi lebih berwarna~
Jujur saja, saya tidak pernah berpikir bahwa saya harus tumbuh tinggi seperti orang-orang. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya inginkan
Sebenarnya saya tidak sadar bahwa apa yang telah saya lakukan merupakan salah satu cara untuk menghadapi bullying yang dulu kerap saya dapatkan. Saya membuat lelucon, hanya demi mendapatkan tawa dari orang-orang. Pripsipnya, kalau ada orang tersenyum karena saya, itu sebuah kebahagiaan juga untuk saya.
Sementara membuat badan terlihat lebih kekar, itu semata karena saya tergoda dengan Tante Mila ingin lebih bugar. Toh, dulu saya pernah ikut SSB ketika saya SD, dan kemudian gantung sepatu sejak saya mengenakan kacamata (SMP).
Banyak cara untuk menghadapi bullying dan setiap orang pasti berbeda dalam menanggapinya. Alangkah baiknya ketika kamu menemui masalah seperti ini, cobalah untuk tidak merasa hidupmu akan berakhir, tetapi kamu harus merasa bahwa ada sebuah alasan untukmu tampil lebih baik dalam segala hal. Termasuk membuat tubuhmu menjadi lebih intimidatif. Terima kasih, Tante Mila! <3