Sebagaimana orang yang terzalimi, andai difitnah juga dapat ganjaran pahala–saya masih mencari-cari ayat yang relevan untuk ini, tapi belum ketemu—maka salah satu cara menabung pahala paling mudah adalah menulis konten politik menjelang Pemilu.
Di saat yang lain sibuk falling in love with people they can’t have, orang-orang seperti kami sibuk menampung kemarahan orang-orang atas blunder-blunder capres idola mereka sendiri. Di suatu hari Selasa yang cerah, artikel saya tentang Pak Prabowo membuat saya dituding sebagai ”Cebong”. Padahal, kurang 24 jam sebelumnya saya dituduh sebagai “Kampret” karena menulis artikel kritik untuk Jokowi. Andai tak kuat mental, penulis seperti kami mungkin bergegas bercermin sambil merenung, “Siapa aku sebenarnya? Untuk apa aku dikirim ke bumi?”.
Sebenarnya ini tidak terlalu mengganggu hidup saya, toh tudingan-tudingan itu tidak membuat teman saya berkurang atau pacar saya bertambah. Apalagi ini jamak dialami oleh penulis dan jurnalis lain. Tilik saja semua artikel politik di media sosial milik media ternama, tak pernah bebas dari sumpah serapah warganet. Seakan sudah konsekuensinya, sama seperti konsekuensi Atta Halilintar memilih untuk melanjutkan hidup.
Apalagi jika kontennya jualan. Derek Halpern, seorang pakar marketing punya rumus: “marketing + politik = bencana”.
Nah, tapi justru saking terasa biasanya saya tiba-tiba terkesiap, sadar ada yang keliru. “Kok ini jadi terasa lumrah, ya?”
Padahal jelas ada sesuatu yang salah di sana.
ADVERTISEMENTS
‘Sudah tahu begitu, kenapa masih saja menulis politik?’ Sebuah kesia-siaan jika kami tidak melakukannya
Bunyi rukun iman yang pertama di redaksi Hipwee adalah kita bisa menulis isu apa saja. Mungkin terasa janggal karena Hipwee yang terlanjur kondang akan tulisan soal asmara yang menguji curah hujan air matamu mendadak harus menganalisis debat capres yang serius. Sebenarnya semua isu itu punya kesamaan, yakni “penting untuk anak muda”. Itu semangat yang perlu dikejar. Lagipula saya sudah menulis politik untuk media sejak Fadli Zon masih menghapal Pancasila kuliah.
Menurut Aristoteles, esensi politik adalah upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sederhana, seperti hujan di bulan Juni.
Kata kunci dari politik adalah “keberpihakan” dan “kepentingan orang banyak”. Menulis politik berarti menunjukan kepedulianmu terhadap orang banyak. Dan saya pilih peduli.
Apalagi tinggal menghitung hari bagi kita untuk diminta memilih orang-orang yang akan memimpin arah bangsa ini menjadi penguasa. Sebaik-baiknya pilihan itu adalah yang manapun asal kamu tahu konsekuensinya, terlepas itu golput sekalipun. Dan pilihan yang diberikan bukan Harvard dan Stanford seperti yang dimiliki Maudy Ayunda, tapi pilihan yang sama-sama tidak enak. Sementara banyak hal yang mampu mendistraksi pilihan rasional kita dewasa ini, termasuk hoaks, kampanye hitam, dan janji-janji manis berbisa.
Praktis, butuh asupan informasi dan penunjang literasi politik untuk membekali kita agar lebih punya kekebalan terhadap distraksi-distraksi itu.
Terkadang, ada juga mulut-mulut yang berbisik manja, “Jangan menulis soal politik, sensitif lho”.
Jika ndak mau menulis yang sensitif ya menulis komentar di video-video unboxing nasi padang saja.
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Penuh curiga terhadap konten-konten politik di media itu boleh, disarankan malah. Tapi perlu dibedakan antara sikap kritis dan dibutakan fanatisme
Salah satu tantangan terbesar penulis politik yang ingin menyebarkan fakta adalah audiens yang sudah terbelah dua. Beberapa tahun terakhir, kita terbentuk menjadi air dan api. Dari Jokowi – Prabowo, lalu sempat Anies – Ahok, Luna Maya – Syahrini, pacaran – taarufan, kini balik Jokowi – Prabowo lagi. Dialog-dialog di televisi, media sosial, maupun komentar di media online telah menuntun kita ke arah yang seolah-olah ekstrem dan saling berseteru: tidak A berarti B. Seakan-akan cuma ada dua pilihan untuk bersikap.
Dari pengalaman saya menulis artikel politik di Hipwee, isi argumen hampir tidak pernah diperdebatkan. Selalu yang disoroti hanyalah apakah artikel ini menguntungkan Jokowi atau Prabowo. Kubu yang merasa dirugikan seketika akan menganggapnya tidak netral. Sadis, seperti hujan di LaLaFest.
Terkadang sudah ada yang komen “ah, sampah nih admin, nggak netral” padahal baru 2,37 detik artikel itu dirilis. Jari saya saja masih nempel di keyboard. Entah ia cenayang, cuma baca judul, atau sedang punya masalah pelik dalam hidupnya.
Kefasihan warganet dalam mengekpresikan syak wasangka—acapkali dibumbui ungkapan kebencian—terhadap konten politik yang tidak sejalan dengan kepercayaan mereka itu sampai di level memukau. Ini lumayan terjelaskan dalam teori tentang massa dan perilaku kerumunan dari Gustave Le Bon dalam The Crowd: A Study of a Popular Mind. Tatkala seseorang dalam kondisi di kerumunan, mereka akan merasa menjadi anonim atau tanpa identitas. Situasi ini membuat mereka merasa lebih impulsif dan “bebas” untuk bertindak di luar nalar dan semena-mena. Kasus-kasus pengeroyokan yang menewaskan seseorang hanya karena masalah sepele misalnya, terjadi karena orang-orang itu berada dalam situasi berkerumun sehingga merasa tidak terlalu bertanggung jawab akan konsekuesi yang ada.
Pun begitu para warganet yang doyan “mengeroyok” kolom artikel politik dan meninggalkan komentar irasional tanpa pikir panjang. Sesuatu yang tak sampai nyali akan mereka lakukan di dunia nyata sendirian.
Tidak menampik bahwa media abal-abal atau partisan memang bertebaran. Tapi cara mengenalinya tidak cukup dengan menghakimi 1-2 artikelnya saja. Netralitas dari konten politik tidak diukur sebatas ia menguntungkan si A atau si B.
Hingga kesekian kali saya mengisi acara diskusi jurnalisme atau perihal politik, selalu ada pertanyaan yang menyinggung netralitas media. Nah, rahasia besar jurnalisme dan pemberitaan adalah media atau jurnalisme tidak harus netral. Boom! Yang penting adalah terverifikasi, terbuka, dan tak menggunakan klaim bohong. Media tidak dilarang menguntungkan salah satu pihak jika fakta yang ditemukan memang begitu adanya. Contoh, apabila faktanya memang salah satu capres didukung partai yang menyumbangkan caleg koruptor yang lebih banyak dibanding lawannya, ya memang harus dikritisi. Tidak perlu mengurangi atau melebih-lebihkan sesuatu agar terkesan adil. Tugas media adalah mengabarkan kebenaran, sementara yang harus adil adalah suami yang poligami.
Yang terpenting adalah media itu independen, tidak disetir oleh kubu politik yang berkepentingan. Seperti Hipwee yang hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Dalam satu kesempatan obrolan dengan Najwa Shihab–yang tentu mengalami nasib serupa—ia menukaskan, “Aku merasa tetap dianggap sebagai Cebong sih. Dan yang saya khawatirkan adalah justru secara tidak sadar saya overcompensate untuk menunjukan bahwa saya bukan Cebong. Karena ada kecenderungan orang menjadi overcompensate untuk menunjukan bahwa ia tidak seperti yang dituduhkan. Ketika ingin bertanya kritis kepada kubu Prabowo misalnya, kadang saya kepikiran, ‘wah, nanti saya dianggap Cebongers’. Itu selalu harus menjadi pengingat saya. Apalagi dikotominya sudah seperti ini.”
Nah, seorang Najwa Shihab pun berhadapan dengan itu. Tak perlu risau. Memang sudah jalan ninjaku begini, hadapi dengan Bismilah.
Untuk kamu yang ingin menulis artikel-artikel politik juga, jangan gentar. Masa takut? Sama orangtua aja berani 🙁