Bullying bukan masalah sepele. Saya sempat kehilangan harapan hidup saat kecil.
Sepanjang perjalanan menyelesaikan wajib belajar 9 tahun saya selalu jadi yang terkecil di kelas. Semua baik-baik saja ketika SD dan SMP. Entah karena saya murid yang pandai atau perbedaan tinggi badan dengan teman-teman belum terlalu mencolok.
Saat itu, justru karena bertubuh kecil (pendek dan kurus) saya kerap dapat pujian “Oh, kecil-kecil pintar, ya!” Namun semua berubah ketika negara api menyerang ketika saya saat SMA. Sementara badan teman-teman bertumbuh, saya masih segitu-segitu saja. Di sinilah semua bullying pada saya bermula.
ADVERTISEMENTS
Kalau orang bilang masa SMA itu paling indah, saya nggak setuju. SMA adalah ujian hidup terberat buat saya
Saat SMA kelas X, tinggi badan saya nggak sampai 155 cm. Menjadi yang paling kecil satu sekolahan itu rasanya mungkin sama kayak jadi monyet “Topeng Monyet” keliling. Awal SMA, saya jadi bahan omongan, tontonan, bully-an orang-orang. Belum genap sebulan langsung dapat julukan “Acil”. Selalu ada yang nyeletuk “Anak SD mau ke mana?” saat saya lewat. Mau pulang, sepeda saya hilang. Ternyata diumpetin di gudang.
Yang paling parah tentu saja bully-an fisik. Saya pernah digotong dimasukkan ke dalam tong sampah, dibopong, dan hampir dijatuhkan dari genting lantai dua sekolah. Kamu pasti berpikir, “Kok nggak ngelawan sih?” Hay, Dude, berontak sama saja mengundang mereka buat berlaku lebih parah. You know what i mean. Saya sendirian, mereka banyak, gede-gede lagi.
Berkat isi kepala encer dan kemampuan main bola yang di atas rata-rata, saya melawan. Pelan-pelan mereka takluk dan mulai menaruh hormat
Tuhan Maha Adil. Meski badan saya kecil, isi kepala saya besar. Arogansi mereka di luar kelas luluh lantak saat ujian datang. Rasanya selalu nikmat, melihat mereka memohon-mohon meminta contekan.
Selain itu, saya juga jago main bola. Lapangan futsal selalu saya anggap medan perang bagi saya. Waktu di mana saya bisa membalas segala kekurangajaran mereka mempermainkan saya.
Secara postur mereka unggul, tapi kelincahan saya selalu berhasil jadi momok buat mereka yang angkuh di luar tapi cemen di lapangan. Melihat wajah-wajah mereka yang emosi saat timnya kalah, melihat mereka frustasi merelakan uang mereka jatuh ke kantung saya dan tim.
Menjadi korban bully membuat saya jadi ‘pendendam’. Perlakuan jahat mereka selalu saya jadikan bara untuk meraih pencapaian demi pencapaian
Kurang-kurangi merendahkan orang lain. Ejekan yang keluar dari mulutmu mungkin terdengar sepele, tapi kamu nggak tahu bagaimana dampaknya bagi korban. Saya mengalaminya sendiri. Di akhir SMP sampai SMA beberapa kali saya sempat kehilangan harapan hidup.
Setiap hari dikatain, dijahilin, itu pedih. Saya pernah mengurung diri di dalam kamar. Saya menangis sembari mengingat perlakuan jahat orang-orang. Saya bertanya-tanya, “Kenapa saya dilahirkan kalau cuma buat direndahkan?!” Bahkan saya sempat berpikir untuk mengakhiri hidup.
Beruntung saya punya orang tua yang peduli. Mereka kerap membawa saya ke klinik tongfang pengobatan untuk mengatasi masalah tinggi badan ini. Segala resep pernah saya coba, mulai dari minum jus sayur sampai Sc*tt Emulsion. Segala usaha pun telah saya jalankan, ikut ekskul basket sampai berenang. Usaha tersebut baru terasa hasilnya saat SMA kelas XII. Pelan-pelan saya tumbuh. Dan saat kuliahlah pertama kali saya merasakan nggak jadi yang terkecil di kelas.
Banyak hal telah berubah. Karena bully-an teman-teman, saya tumbuh menjadi pendendam. Namun ternyata itu memacu saya meraih pencapaian demi pencapaian. Ambisi saya lebih gila dari orang lain. Ingin rasanya kuketuk pintu rumah mereka yang dulu mem-bully satu-satu. Ingin saya ucap “terima kasih” telah memacu saya untuk sukses. Tapi setelahnya, akan saya jitak kepalanya, “Berantem kita, sekarang sepadan!”