4 Alasanku untuk Rajin Puasa ini Sungguh Duniawi, tapi Efektif

Alasan Puasa

Iya, saya mengerti bahwasanya puasa itu masuk di rukun Islam, terlepas rukun ketiga atau keempat, bahkan ada sumber yang menempatkannya di rukun kelima (apalah arti urutan bila sama-sama tidak dijalankan ~). Tapi saya tidak sedang ingin mendedah alasan surgawi untuk berpuasa berdasarkan Alquran dan hadis. Adalah langit dan empunya yang lebih tahu.

Atau jika handai tolan ingin lebih mendapat pencerahan, maka silakan mencari masjid terdekat yang ta’jilnya banyak penceramahnya tidak bawa-bawa isu komunis atau mengutuki agama lain. Lantaran saya bukanlah apa-apa di kancah alim ulama dan sahabat nabi, maka saya hanya ingin menulis yang duniawi-duniawi saja.

Sebagai pria sekuler ber-KTP Islam yang tidak agamais dan akhlaki, banyak orang menanyakan kenapa saya selalu berpuasa. Diingat-ingat, saya hampir tak pernah bolong puasa sejak masuk SD. Mungkin pernah 1-2 kali, itupun saya tak ingat sebab musababnya. Bisa jadi karena odol Pepsodent yang aroma stroberi itu dulu terlalu enak untuk tidak ditelan, atau saya sempat berpikir makan buah semangka itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana makan buah simalakama.

Dan semakin dewasa, saya malah makin banyak menemukan alasan kuat untuk berpuasa. Puasa membuat saya merasa lebih baik sebagai manusia. Akhirnya saya kian konsisten.

Ketika ditanya “kenapa kamu puasa?“, kadang saya jawab dengan bercanda “puasa itu lifestyle,” atau nyolot “Jelas puasa dong, Islam agamaku!”. Terkadang pula kalau baru saja kelar menonton video-video Quraish Shihab dan Gus Mus, saya kadang menjawab:

“Dik, api ini panas kan?” *membakar daun telinganya dengan korek api*

……..

“Bukankah lebih baik tenggorokan tidak menelan apapun selama setengah hari daripada api ini yang harus kita telan di neraka sana?”

Sip.

Ya begitulah. Tapi sebenarnya tidak ada satupun dari alasan di atas yang benar-benar menjadi pilar motivasi saya untuk konsisten berpuasa. Baru kali ini akan saya ungkap alasan-alasan sesungguhnya. Jelas receh, tapi efektif kok selama 20 tahun ini.

1. Tidak ingin dibilang “tidak kuat”

Entah dalam sejarahnya disengaja atau tidak, tapi saya kesal mengapa orangtua kita memilih istilah “kuat” untuk mempersuasi anak kecil berpuasa.

“Dik, ini sudah jam 1 siang, kamu masih kuat puasa?” 

 “Wah hebat, sekecil ini sudah kuat puasa penuh sebulan ya?”

Saya pun menjawab, “Kuat dong Pak, hati-hati mulutmu kalau bicara ya.”

Propaganda itu berhasil menghantui saya seumur hidup. Akhirnya tertanam dalam diri sampai dewasa ini bahwa jika tidak puasa berarti “tidak kuat“: lemah, payah, cemen, pecundang, cupu, ejakulasi dini, dll.

Dan saya kuat.

2. Jiwa gentleman-ku menolak melihat ada perempuan kelaparan dan kehausan sementara saya tidak

Masih terkait dengan alasan yang pertama tadi. Saya masih bisa tidak acuh andai puasa hanya jadi ibadah wajibnya laki-laki, serupa sholat Jumát. Tapi para perempuan ini juga berpuasa. Saya tidak sampai hati jika harus melihat orang terdekat saya, yakni ibu dan pacar saya lesu menahan lapar dan haus, sementara saya bugar dan afiat.

Sebagai orang yang punya nama tengah “ladies first“, ini terlalu ofensif untuk saya. Saya harus lebih menanggung beban dari mereka. Kalau diperlukan, saya rela berbuka satu jam lebih lama dari mereka. Eh, nggak ding.

3. Jikalau saya mampu berpuasa dengan damai, mengapa para desert buddy itu harus panik meributkan warung makan yang buka siang hari?

Saya keheranan dengan pihak-pihak yang sedemikian menggebu-gebunya menuntut warung makan tutup di siang hari pada bulan Ramadan. Lah, esensi puasanya dinihilkan sendiri. Orang yang tidak makan dan minum karena memang tidak punya makanan dan minuman bukanlah orang yang berpuasa. Orang yang tidak mengikuti hawa nafsu karena memang tidak ada godaan bukanlah orang yang berpuasa. Itu namanya “keadaan”.

Ini seperti main ular tangga tapi semua bagian ularnya dihapus. Bukan imannya yang diuji, tapi tantangannya yang disembunyikan. Aneh, kecuali ada yang buka warung pecel di dalam rumahmu, itu baru keterlaluan.

Apalagi ini dilakukan oleh insan-insan yang setidaknya secara fashion mengunjukkan identitas kesalehan yang berkobar-kobar. Untuk apa segagah itu bila ketakutan dengan aroma masakan pinggir jalan? Berpuasa bagi saya juga sebagai pembuktian personal bahwa tanpa motivasi religius yang bertingkat-tingkat saja saya mampu untuk menghadapi tantangan-tantangan yang selumrahnya. Apalagi mereka yang mendaku mengejar-ngejar surga, seharusnya lebih teduh dan tabah.

Dalam satu momen di media sosial, pernah pula seorang sastrawan mengajukan argumen (kurang lebih isinya) “Kalau kita mungkin bisa bertahan melihat warung makan yang buka, tapi bagaimana kalau anak kecil yang masih belajar puasa?”

Saya setrika punggung anak saya kalau ia kelak semanja itu. Justru sejak kecil ia harus diajarkan bahwa yang namanya hidup bermasyarakat itu memang harus berbagi kepentingan dengan golongan lain, dan hakikat puasa ada di sana. Kalau nggak kuat ya batal saja, jangan merepotkan orang lain. (tapi bakal saya teror sih dengan pertanyaan, “TIDAK KUAT puasa ya?”)

“Bulan puasa kok, hormatilah orang yang berpuasa, gunane wong puoso iku den koe sinauh ngormati wong, ora njalok dihormati wong (gunannya orang yang berpuasa itu agar kamu bisa menghormati orang lain, tidak meminta penghormatan orang),”

– Emha Ainun Najib –

“Hanya orang yang tidak terhormat yang meminta penghormatan orang lain”,

4. Terakhir, kebetulan puasa menurut saya adalah ibadah yang paling sederhana, setidaknya “kita tidak perlu melakukan apa-apa”

Bahasa “menahan diri” atau “menjaga hati” membuatnya terkesan berat karena menggunakan bentuk kata kerja. Tapi sebenarnya perspektif praktik puasa bisa disederhanakan dengan “tidak makan dan minum”, “tidak berzina”, “tidak ini dan itu”, dll. Ibaratnya kita berdiam diri di sudut kamar sambil main halma seharian saja sudah melewati syarat minimal untuk lolos.

Cuma itu tadi pengandaian yang ekstrem, masa bulan ramadan cuma mematung di kamar doang? Sekalinya keluar kamar jadi kayak Kivlan Zein nanti, bingungan dan suka melantur.

Kita tetap perlu berbaur dengan masyarakat selaiknya hari-hari biasa.  Jangan jadikan puasa sebagai alasan untuk melepaskan tanggung jawab pekerjaan atau bermalas-malasan. Godaan itu dilawan dengan berteguh hati, bukan malah ditiadakan, sehingga bulan Ramadan benar-benar bisa jadi momen untuk #UpgradeDirimu.

Tapi jika memang mentok, ya sudah, berarti kamu TIDAK KUAT puasa ya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Ecrasez I'infame

Editor

Ecrasez I'infame