A Trip Down Memory Lane chapter 7 by RevelRebel via www.hipwee.com
I’m sure you’re not just another girl I’m sure that you’re gonna say that that was sexist I feel like you’re running out Of all the things I liked you for
(Sincerity is Scary – 1975)
***
Am I still in love with him?
Ketika melongok ke dalam hatiku, aku mencari-cari apakah masih ada cinta itu di sana. Namun, aku tidak yakin apakah perasaan yang ada di dalam hatiku bisa didefinisikan sebagai cinta.
“Yang pasti, Mas, aku masih sayang kamu.”
“Sayang…” Thomas mengangguk, seakan menimbang-nimbang kata itu. “Tapi kamu tetap yakin kalau sebaiknya kita putus?”
“This is the best for us,” sahutku.
“Enlighten me, please.”
“Aku yakin kalau kamu pasti ngerasain hal yang sama. Kita stuck di tempat, terbiasa dengan kehadiran satu sama lain sehingga sulit untuk mengubah kebiasaan itu. Kita sama-sama membutakan mata dan memilih untuk berkompromi ketimbang menyadari masalah yang ada di depan mata,” jelasku.
“Masalah apa?”
“Kamu pastinya nyadar, kan, kalau selama ini kita saling maksain diri? We were in love, aku enggak bisa memungkiri kalau kita punya hari-hari yang bahagia. I was happy to have you as my boyfriend. But, as time goes by, there’s a different path laying in front of us, but …” Aku menggelengkan kepala. “There’s an elephant in the room but we’re pretending it doesn’t exist.”
Thomas menatapku dengan mata menyipit, tanpa suara memberiku kesempatan untuk mengutarakan semua yang ada di pikiranku.
“Kamu juga maksain diri buat menyamakan langkah denganku, sementara kamu juga punya plan yang ingin kamu raih. Akhirnya kamu jadi kebingungan, harus ke mana?”
“Kamu nyalahin aku?” tanyanya dengan sikap defensif.
“Bukan, tapi mencoba menyadarkanmu kalau kita sudah enggak sejalan. Mungkin sejak awal kita memang enggak sejalan. Terlalu banyak perbedaan yang harus kita atasi bareng-bareng sampai akhirnya kita merasa terlalu lelah berkompromi. Morning run, Java Jazz, film festival, itu cuma hal remeh buat kita,” lanjutku.
“Terus, yang serius apa?”
“The way we live our life,” sahutku akhirnya.
Sekali lagi, Thomas menatapku dengan mata menyipit.
“You have a very detailed plan about your future. Kamu dan ambisimu yang sangat besar. Sementara sekarang aku enggak lagi seambisius itu. I have different priorities right now.”
“You want to live an everyday life,” sahutnya.
Aku mengangguk. “And then, you always criticize me.”
Thomas terdiam setelah aku menyelesaikan ucapanku. “Mengkritikmu?”
Aku menggelengkan kepala lemah, terlalu lelah dengan percakapan ini. “Kamu tahu maksudku.”
“Aku memang pernah memintamu mencoba untuk mencari pekerjaan tetap karena aku enggak tahan melihatmu hidup seperti ini.” Thomas berkata tegas.
“Tapi ini pilihanku,” tukasku.
“Pilihan yang kamu ambil karena ketakutan yang enggak mau kamu akui itu.” Thomas membalas sengit. Napasnya memburu ketika menatapku. “Tell me, have you ever thought about living with me? No, let me rephrase it, have you ever thought about marriage?”
That M-word!
Ini kali pertama Thomas mengungkapkannya.
Ibunya pernah mempertanyakan hal yang sama, pertanyaan yang diajukan sambil lalu dan dibuat seolah itu hanya basa-basi, bukan sesuatu yang penting, tapi akhirnya membuatku mengambil keputusan besar.
“Of course,” sahutku.
Tentu saja aku pernah memikirkan soal pernikahan. Entah dengan Thomas, atau laki-laki lain.
“But you don’t want to.”
Kali ini, aku enggak menjawab. Aku membiarkan keheningan membentang di saat Thomas menatapku dengan seraut kekecewaan di matanya.
“Memangnya, hidup selamanya denganku semenakutkan itu buatmu?” tanya Thomas.
“Terus apa?” Nada suara Thomas mulai meninggi. Dia bahkan menjambak rambutnya sendiri, untuk melampiaskan rasa frustrasi yang dialaminya. “Kenapa semuanya harus dibikin rumit, sih, Sha?”
Sekali lagi, aku membiarkan keheningan menjawab pertanyaan itu.
“We love each other. We’ve been together for five fucking years. We try to understand each other. Memang enggak mudah, karena kamu benar. Kita mencoba berkompromi, padahal sebenarnya kita cuma saling menghindar dan enggak mau mengakui kalau ada masalah perbedaan sudut pandang yang jelas di antara kita,” cecar Thomas.
Thomas berpangku tangan, memakuku di dalam tatapannya.
“Kita bisa memperbaiki diri, memanfaatkan momen ini untuk introspeksi, jadi hubungan ini bisa diselamatkan. Bukannya menyerah begitu saja,” lanjutnya.
Aku sudah membuka mulut hendak membalas, tapi Thomas mengangkat tangan dan membuat semua ucapanku terhenti.
“Giliranmu yang dengerin aku,” katanya tegas. “Sekarang aku paham apa alasanmu. LDR is bullshit. Kamu enggak pernah memikirkan masa depan denganku, dan memilih untuk menghindar dengan menyudahi hubungan ini, juga menutup diri dari kemungkinan kalau kita bisa sama-sama memperbaikinya. Kalau kamu mau. Tapi intinya, kamu enggak mau, kan?”
“It’s not that easy.”
“I know,” bantahnya. “Enggak bakal mudah, tapi bisa kalau kita mau. Sekarang aku tanya, kamu mau atau enggak?”
Aku meneguk ludah, merasakan mataku berat akibat dorongan emosi yang menguasaiku, dan kapan saja, akumulasi emosi itu siap tumpah dalam bentuk air mata.
“Kamu enggak mau, karena kamu takut untuk menjalin komitmen yang serius. Seperti kamu yang memilih jadi freelancer padahal kamu bisa berkomitmen menjadi karyawan tetap di suatu tempat. Kamu mau pacaran denganku, tapi cuma sebatas itu. Kamu pengecut, Sha.”
Aku melayangkan tatapan ke jalan Thamrin yang malam ini mulai dipadati kendaraan. Sama halnya dengan benakku, ketika setiap patah kata yang terlontar dari mulut Thomas hanya menelanjangiku dengan kebenaran, dan membuat otakku terpaksa mencerna kebenaran itu.
Sasha menatap jalanan MH Thamrin yang padat | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Mungkin, aku memang pengecut.”
Thomas menggeleng. “Apa yang membuatmu takut menjalin hubungan denganku? Karena ibumu?”
Lima tahun menjalin hubungan dengannya membuat Thomas begitu mengenalku, sehingga kali ini dia bisa langsung menebak rahasia yang selama ini kusembunyikan.
“Aku enggak sama kayak ayahmu.”
“I know.”
“Dan kamu bukan ibumu.”
Aku mengangguk kecil.
“Sampai kapan pun, kamu akan terus begini karena enggak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk mengajakmu berkomitmen karena kamu terlalu pengecut.” Thomas seperti menancapkan paku yang tajam hingga tembus ke hatiku, ketika ucapannya membuatku mengakui apa yang selama ini berusaha untuk kuingkari.
***
Aku sudah kehilangan hitungan berapa lama kami di McDonald’s. Setelah berbatang-batang rokok yang dihisap Thomas, dan aku yang sejak tadi mengunci mulut sehingga enggak ada satu pun di antara kami yang bersuara, akhirnya Thomas memecah keheningan.
“Let’s go somewhere else, sebelum kepalaku meledak.”
Thomas mematikan rokok terakhirnya, sebelum berdiri. Dia mengulurkan tangan di hadapanku. Aku bisa menerima uluran tangan itu. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya.
Thomas mendengkus ketika aku berdiri, dan tangannya masih terulur.
I know that I hurt him. Tindakanku juga kekanak-kanakan. Namun, jika aku menerima uluran tangan itu, hanya akan meruntuhkan benteng pertahanan yang susah payah kubangun.
Sama seperti tadi, kembali ada keheningan di antara kami ketika Thomas berusaha menembus kemacetan.
“Mungkin, satu-satunya yang bikin nyaman jadi freelancer, enggak perlu stres menyambut Senin,” kelakar Thomas, ketika mobil enggak bergerak di Bundaran Senayan.
“Kapan kamu balik ke Aceh?”
“Minggu depan,” sahutnya.
“Ada kerjaan di sini?”
Thomas menginjak pedal gas ketika mobil di hadapan kami mulai melaju. “Soal transfer ke Jakarta.”
Aku mengangguk pelan, lalu melemparkan pandangan ke luar jendela. Malam Jakarta selalu ramai, enggak peduli hari. Bahkan menjelang Senin sekalipun. Seolah-olah manusia-manusia Jakarta ingin menikmati weekend sampai detik terakhir, sebelum terjerat stres dan panik menyambut Senin.
Aku tersentak ketika mobil berhenti di sebuah ruko. Mataku menyapu pemandangan di luar untuk mencari tahu keberadaanku saat ini.
“Let’s scream your heart out,” ujar Thomas, sebelum membuka pintu mobil.
Lampu terang di billboard Inul Vista di Melawai memaku tatapanku. Another place to remember me by.
Karaoke sampai tengah malam merupakan cara Thomas melepas stres. He’s not a good singer. Suaranya sumbang. Namun, di ruang karaoke yang tertutup, suara sumbang yang bikin telinga pekak bukan hal terlarang. Bersama teman-temannya, Thomas sering menghabiskan waktu dengan karaoke, ditemani berbotol-botol bir hingga mereka teler dan tertawa seperti manusia tanpa beban.
Once in a while, I went there with him. Seringnya aku cuma jadi pajangan, sekaligus observer, karena mengawasi tingkah manusia yang terlalu lama menumpuk beban di pundak, dan selama tiga jam, mereka bisa melupakan tumpukan beban itu. Dalam tiga jam, beban itu perlahan luruh diselingi lagu rock yang enggak jelas nadanya, lagu dangdut yang membuat mereka semakin teler, atau lagu patah hati yang kadang menjadi ajang curcol.
Ungkapan yang menyebut bahwa karaoke itu 10% menyanyi dan 90% curcol itu ada benarnya. Di balik nada yang makin enggak jelas, kadang terselip rintihan patah hati atau makian terhadap hidup.
Malam ini, aku penasaran akan apa yang terlontar dari mulut Thomas. Rintihan patah hati karena hubungan ini berakhir atau makian karena sikapku yang menjadi seorang pengecut malah menyakitinya.
Aku menempati sofa hitam, sementara di layar televisi mengalun lagu dangdut yang diputar otomatis, karena sejak tadi, baik aku atau Thomas, enggak ada yang tergerak untuk memilih lagu.
Sasha dan Thomas duduk diam di ruangan karaoke | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Kenapa diam aja?” tanyaku.
Di sampingku, Thomas duduk tegak seperti patung. Dia yang mengajakku ke sini, karena butuh melakukan sesuatu sebelum otaknya meledak. Namun, dia malah diam.
Tanganku terulur meraih konsol dan memilih lagu. Aku enggak punya lagu favorit karena sebagian besar isi playlist-ku adalah musik instrumental. Tanganku memencet tombol sementara mataku menyapu barisan judul demi judul di layar.
“Sha,” panggil Thomas pelan.
Aku menoleh ke arahnya. “Ya?”
“Kalau kita bisa balik ke masa lima tahun lalu, kamu tetap nerima aku?”
Di balik penerangan temaram di ruangan ini, aku cukup kesulitan membaca raut wajah Thomas. Ada kepedihan di balik suaranya, dan kepedihan itu membuatku ikut merasakan hal yang sama.
Perlahan, aku mengangguk.
“Meski kamu enggak melihat ada masa depan di antara kita?” Meski berusaha untuk menutupinya, aku tetap bisa mendengar nada penuh tuduhan di balik pertanyaan itu.
“I tried. You don’t know how hard I try. But it’s not that easy.”
“Mungkin usahamu enggak sekeras itu.”
Aku tertawa kecil. “I would rather be alone. Sorry if I hurt you.”
Thomas merangkulku, lalu menarikku ke pelukannya. Dengan kedua lengannya, dia memelukku.
Ada satu perasaan yang mendominasi setiap kali berada di dalam pelukan Thomas. Pelukan itu masih terasa sama, menenangkan dan membuatku sadar bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“I love you, Sha,” bisiknya. “Sorry, kalau caraku selama ini enggak sesuai dengan yang kamu mau.”
“It’s not everybody’s fault. We just … I don’t know. Mungkin kita berusaha terlalu keras untuk ada satu sama lain sampai lupa akan diri sendiri.”
Thomas mendaratkan kecupan di puncak kepalaku. Dia tidak mengurai pelukan itu, membuatku bisa merasakan desahan napasnya yang berat.
“Aku enggak tahu setelah ini mesti gimana.”
“Aku juga,” jawabku.
Thomas tergelak. “Kamu yang mutusin aku, ya, Sha. Setidaknya kamu punya kehidupan baru di Edinburgh.”
“Kamu juga punya kehidupan di sini, atau di mana pun kamu berada nantinya.”
Thomas mengurai pelukannya, meski tidak sepenuhnya. Dia menunduk untuk menatapku. Jemarinya menyusuri kedua sisi wajahku ketika tatapannya tidak pernah beranjak dari mataku.
Perlahan, Thomas memajukan wajahnya hingga tidak ada celah tersisa di antara kami ketika bibirnya mengunci bibirku. Ciuman yang lembut, tidak menuntut.
Selama sekian detik, aku hanya terdiam.
“Kiss me,” bisiknya, sebelum kembali memagut bibirku.
Aku memejamkan mata, lalu membalas ciuman itu. Ciuman yang terasa sangat familiar, mencoba untuk memunculkan kembali percikan dari dalam hatiku. Aku berusaha mengais ke dasar hati, mempertanyakan apakah masih ada cinta untuk Thomas?
Namun, hatiku terasa hampa.
Cinta yang dulu ada dan meletup-letup, kini entah di mana.
Thomas menekan punggungku hingga mempersempit jarak di antara kami. Sementara satu tangannya menekan kepalaku agar tidak beranjak, tangannya yang bebas bergerak ke dalam sweater yang kukenakan. Aku terkesiap ketika dia menyentuh kulitku, mengalirkan gelenyar dari dalam tubuhku, setiap kali Thomas menyentuhku seperti ini.
Ciuman yang tadinya lembut, kini berubah menjadi lebih menuntut. Thomas mendorongku hingga tersandar ke sofa, sementara sentuhannya juga terasa semakin menuntut. Aku terkesiap ketika Thomas menyentuh payudaraku, meski masih terhalang oleh bra yang kupakai, tapi sentuhannya mampu membuat jantungku berdetak melebihi batas normal.
Reaksi tubuhku mengisyaratkan bahwa Thomas masih memberikan efek yang sama, seperti kali pertama dia menenggelamkanku dalam keintiman seperti ini. Juga saat-saat setelahnya, ketika kami saling melepas rindu setiap kali dia berada di Jakarta setelah terpisah jarak.
Namun, tidak ada reaksi dari dalam hatiku. Tidak ada perasaan yang meluap-luap untuk meningkahi setiap sentuhan dan kecupan yang diberikannya.
Aku seperti raga tanpa nyawa.
Dan ingatanku melayang ke suatu malam, ketika ada sentuhan lain di tubuhku.
Aku tersentak, lalu melepaskan diri dari Thomas.
“What?” tanyanya.
Aku menggeliat, membuat Thomas terpaksa melepaskanku sehingga ada kesempatan untuk menciptakan jarak di antara kami.
“Kamu mau kita pulang sekarang?” tanyanya. Ada kilat jail di matanya ketika mengungkapkan hal tersebut.
Setiap kali bermesraan dengan Thomas, entah di ruang karaoke, di bioskop, atau di mobil yang terparkir di parkiran mal, dan kami sudah tidak bisa lagi menahan tangan masing-masing, Thomas akan menarikku saat itu juga dan membawaku pulang. Seringnya ke kamar indekosku, tempat kami bisa melanjutkan apa yang sempat terhenti, sampai terengah-engah dengan rasa puas yang menjanjikan.
Namun malam ini, dia tidak menarikku pergi.
Alih-alih, Thomas menatapku dengan kening berkerut.
“I had sex with someone else,” bisikku.
Ruangan karaoke itu mendadak terasa hening. Selama beberapa saat, Thomas duduk membeku di sampingku.
“Siapa?” tanyanya, akhirnya.
Aku meneguk ludah. “Bang Ibram.”
“Kapan?”
“Around six months ago.”
“Berapa kali?”
“Just once,” sahutku.
Ada perasaan bersalah yang membelit hatiku saat ini.
“Do you love him?” tanya Thomas.
Aku menggeleng. “I never loved him. It was an accident.”
Semuanya terjadi begitu saja. Aku sedang mengejar deadline malam itu, menumpang di kantor Bang Ibram karena hujan. Malam itu hanya ada kami berdua.
Awalnya tidak terjadi apa-apa, sampai pekerjaanku selesai dan hujan belum juga reda. Aku memutuskan untuk membunuh waktu di sana, ditemani segelas kopi sachet yang kelewat pahit.
We talked about everything. Tentang Bang Ibram yang dulu menjadi wartawan di Tempo untuk kemudian berhenti dan mendirikan agensi ini. Juga awal pertemuan kami, ketika aku menjadi freelancer beberapa bulan sebelum dia resign. Aku butuh pekerjaan, Bang Ibram butuh penulis. Kami pun menjalin hubungan profesional, tidak lebih dari itu.
Malam itu, untuk kali pertama, obrolan beralih menjadi lebih personal. Tentang hubunganku dengan Thomas. Tentang Bang Ibram yang kembali putus dari pacarnya yang sering putus nyambung, tapi saat itu dia merasa hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.
We kissed. Aku tidak tahu siapa yang memulai. Entah dia atau aku. Yang aku sadari akhirnya, kami sama-sama telanjang di ruang kantor yang senyap itu. Saling berpacu dengan hasrat masing-masing. Namun setelahnya, hubunganku dengan Bang Ibram kembali ke batas profesional.
“Apa tujuanmu memberitahuku sekarang?”
Aku menghela napas panjang ketika mendengar pertanyaan itu. Nada suaranya terdengar datar, tanpa gejolak emosi apa pun.
“You should know.”
Thomas tertawa, bahkan tawanya bisa menyaingi alunan lagu Anji yang mengisi ruang karaoke ini.
“I should know? Fuck you, Sha!” umpatnya. Thomas menarik daguku hingga menatap ke arahnya. “Setelah aku tahu, kamu mau apa?”
“I’m sorry.”
“Apa gunanya minta maaf? Kalau kamu memang menyesal harusnya kamu simpan aja rahasiamu itu.” Thomas berkata tajam.
Mulutku terkunci ketika mendengar lontaran kata itu.
“Pertama kamu bilang enggak bisa LDR. Terus karena kamu sebenarnya enggak mau berkomitmen. Sekarang kamu bilang pernah berhubungan badan dengan orang lain. Setelah ini apa? Keluarin aja semuanya, biar alasanmu mutusin aku makin jelas!” semburnya.
“I’m sorry.”
Thomas bangkit berdiri, berjalan mondar mandir di depan televisi sambil sesekali menjambak rambutnya.
“Kamu bilang, aku enggak pernah mengerti kamu. Aku enggak pernah dengerin kamu, mencoba memahami apa yang sebenarnya kamu rasa. Kamu membuatku tampak jadi laki-laki egois yang kurang ajar. Tapi kamu?” Thomas menudingku dengan telunjuknya.
Thomas mulai terpancing emosi ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
Dia berdiri di depanku, tampak menjulang dan menakutkan akibat amarah yang menguar dari tubuhnya.
“I tried to understand you. Kamu dan semua hal yang selalu kamu bikin jadi rumit. Kalau kamu memang tertekan ketika bersamaku. kamu bisa jujur. Tapi apa kamu lakuin itu?”
Aku mendongak untuk menatapnya. “Aku sudah coba.”
“Apanya yang kamu coba? You just …” Thomas menghela napas panjang. “Kamu cuma mencoba agar aku bisa mengerti. Dengan begitu, aku bisa ikut apa pun yang kamu mau.”
Aku sudah mencoba untuk membuka mulut, tapi Thomas mendahuluiku.
“You were wrong. Aku enggak pernah berusaha untuk mengaturmu. I was trying to help you to live better. Aku mencoba menyadarkan kamu kalau ada pilihan lain yang bisa kamu ambil, tapi kamu telanjur menutup diri dari pilihan itu karena ketakutanmu yang enggak beralasan,” cecarnya.
“Enggak beralasan katamu?” Aku ikut berdiri, sehingga saat ini kami saling berhadapan dengan penuh emosi, dan hanya ada meja yang membatasi.
“Kamu takut akan menjadi seperti ibumu. Kamu bisa berakhir seperti dia, kamu bisa berakhir menjadi manusia kesepian, tapi kamu juga bisa bahagia kalau memberi dirimu kesempatan untuk percaya pada orang lain. Ada banyak pilihan, Sha, tapi yang kamu lihat cuma satu,” lanjutnya.
“I’m not sorry if I’m being pessimistic. Aku enggak kayak kamu yang bisa optimis, bisa menyusun semua plan itu karena kamu yakin bisa mencapainya. Bagiku, pilihan itu mungkin cuma satu-satunya,” balasku.
“Bullshit.”
“Mungkin buatmu itu bullshit, but this is my life.”
Thomas mencondongkan tubuhnya, dengan kedua tangan menekan meja, dan semburan napasnya yang menerpa wajahku menyiratkan emosi yang tidak bisa ditahan.
“Screw you!” umpatnya, sebelum meninggalkanku di ruang karaoke yang pengap ini.
Eks jurnalis dan sekarang menjadi content development di salah satu aplikasi. Mulai menulis di Wattpad sejak 2017 dan beberapa karya bisa dibaca di platform menulis online atau buku.
Hubungi di @revelrebel_ (instagram) dan www.revelrebel.id